Dongeng tentang putri tidur atau Sleeping Beauty pasti bukan lagi hal yang asing di telinga kita. Dalam dongeng tersebut sang tokoh utama tertidur lama karena di sihir oleh penyihir jahat. Kejadian tersebut, tidak hanya terjadi dalam dunia dongeng, tetapi juga terjadi di dunia nyata. Seseorang bisa tertidur lama karena adanya gangguan yang disebut sindrom putri tidur atau “sleeping beauty syndrome”
Pengertian dan Penyebab sindrom putri tidur
Dalam dunia medis, sindrom ini dikenal juga dengan istilah “Kleine-Levin Syndrome”. Sindrom ini tergolong langka dan bisa menyebabkan penderitanya merasa kantuk berlebihan sehingga menyebabkan si penderitanya tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Orang yang mengalami syndrome ini bisa saja terbangun hanya untuk makan atau menggunakan kamar mandi.
Gejala
Selain rasa kantuk yang berlebihan, penderita sindrom ini juga mengalami gejala seperti:
- Hipersomnia, atau tidur berlebih. Hal ini merupakan gejala utama dari sindrom putri tidur, dan meruapkan kondisi yang penting untuk di diagnosis. Penderita sindrom putri tidur umumnya membutuhkan waktu 12 hingga 24 jam untuk tidur dan sulit dibangunkan saat tertidur.
- Gangguan kognitif. Penderita mengalami kebingungan, pemahaman yang menurun, konsentrasi yang buruk, gangguan memori, serta kesulitan berkomunikasi. Gangguan berbicara juga sering diamati, seperti berbicara tidak jelas dan menyerupai anak-anak.
- Persepsi yang berubah. Sebagian besar penderita melaporkan merasa seperti terpisah dari duni nyata pasa saat mengalami episode, dan merasa seperti dunia di sekitarnya adalah salah, terdistorsi, atau seperti sedang bermimpi. Selain itu, sebagian penderita juga dapat mengalami halusinasi auditorik maupun visual.
- Hiperfagia, atau makan berlebih. Sebagian besar penderita sindrom ini mengalami gangguan makan pada saat episode beralngsung. Mereka umumnya mengidam jenis makanan yang tidak biasa di konsumsi, seperti makanan manis atau makanan yang tidak sehat.
- Hiperseksualitas. Sebagian penderita, sering kali laki-laki menunjukan dorongan seksual yang meningkat. Perilaku hiperseksual tersebut dapat mencakup masturbasi yang berlebih, promiskuitas, perilaku seksual yang tidak sopan, maupun perilaku lainnya.
- Tanda dan gejala yang lain adalah nyeri kepala satu sisi, hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara, ansietas, iritabilitas. Sebagian besar penderita sindrom putri tidur juga menunjukkan gejala seperti suhu tubuh yang abnormal, perubahan pada frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, serta batuk dan pilek.
Gejala tersebut bisa terjadi sewaktu-waktu dalam episode tertentu. Sebagian besar penderita dapat beraktivitas normal usai mengalami kambuhnya gejala. Akan tetapi, mereka tidak bisa mengingat dengan baik apa yang terjadi saat gejalanya kambuh.
Penyebab Sindrom Putri Tidur.
Belum diketahu apa yang menjadi penyebab dari sindrom ini. Namun. Bebrapa ahli kesehatan memercayai bahwa factor tertentu dapat meningkatkan risiko seseorang terkena sindrom ini. Factor risiko tersebut adalah gangguan hipotalamus yang merupakan sebuah bagian diotak yang dapat mengontrol tidur, nafsu makan, dan suhu tubuh.
Gangguan hipotalamus dapat terjadi karena jatuh atau cedera kepala. Namun. Ahli kesehatan juga menduga bahwa sindrom ini merupakan salah satu bentuk gangguan autoimun karena beberapa orang bisa mengalaminya setelah infeksi.
Cara Mengatasi Sindrom Putri Tidur
Karena penyebab dari sindrom ini belum pasti, maka para ahli kesehtan masih belum menemukan pengobatan yang spesifik untuk mengatasi sindrom ini. Kabar baiknya ada beberapa metode yang dapat digunakan pasien untuk mengelola gejalanya, salah satunya dengan mengonsumsi obat. Obat yang biasa digunakan untuk mengelola gejala penyakit ini antara lain obat stimulant, seperti modafinil, amfetamin atau metylphenidate.
Namun, obat-obatan ini tak dapat digunakan untuk megatasi gangguan suasana hati yang menjadi bagian dari gejala sindrom ini. Untuk mengatasi gangguan suasana hati yang menjadi efek dari sindrom ini biasanya mengguankan obat seperti lithium dan carbamazepine. Selain itu, beberapa obat alternative yang digunakan untuk menguji respon pasien antara lain obat antikonvulsan, fenitoin, yang tampaknya memicu respons positif pada beberapa pasien.